Foto : Pramono Anung dan Rano Karno
JAKARTA,NEWS LINK AKTUAL.com–
Pramono Anung dan Rano Karno akan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta. Pelantikan dengan nomenklatur Daerah Khusus Jakarta disebut telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Komisi Pemilihan Umum Jakarta telah menetapkan Pramono-Rano sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) terpilih pada Kamis (9/1/2025).
Penetapan dengan nomenklatur DKJ merujuk ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 151 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi DKJ.
Beleid tersebut mengatur perubahan nomenklatur jabatan gubernur dan wakil gubernur, serta anggota DPR, DPRD, dan DPD dari DKI Jakarta menjadi DKJ. Perpindahan ibu kota negara ke Nusantara, Kalimantan Timur, yang masih menunggu Keputusan Presiden, turut memengaruhi perubahan nomenklatur.
”Kami ikuti dan patuh dengan prosedur yang dicanangkan pemerintah pusat,” ujar Juru Bicara Tim Pemenangan Pramono-Rano, Chico Hakim,
Pramono-Rano menurut akan dilantik pada 20 Februari. Legalitas pelantikan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala-Wakil Kepala Daerah yang diterbitkan pada 11 Februari lalu.
Peraturan itu menyebutkan pelantikan pada 20 Februari khusus untuk kepala-wakil kepala daerah yang tidak menghadapi perkara sengketa hasil Pilkada 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) serta daerah yang perkara sengketa hasil pilkadanya diputuskan MK pada 4-5 Februari tidak dilanjutkan.
Status ibu kota berpindah dari Jakarta ke Nusantara berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Sebagai gantinya, Jakarta menjadi daerah khusus sebagaimana termaktub dalam UU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Meski begitu, sampai sekarang belum keluar Keputusan Presiden. Alhasil, Jakarta masih berstatus ibu kota meskipun nantinya menggunakan nomenklatur DKJ.
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia (UI) Irfan Ridwan Maksum menyebutkan, perubahan nomenklatur bukan masalah karena instrumen atau dasar hukum bisa disesuaikan dengan jalannya pemerintahan. Akan tetapi, tidak boleh sembrono.
”Jika bentrok (ada masalah), instrumen hukum disesuaikan dengan prinsip tetap berhati-hati sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Irfan.
Jakarta masih berstatus ibu kota meskipun nantinya menggunakan nomenklatur DKJ.
Selain itu, Jakarta sudah melangsungkan Pilkada bersama daerah lain pada 27 November lalu. Hasilnya pun sudah disahkan dengan Pramono-Rano sebagai gubernur dan wakil gubernur DKJ terpilih.
”Bangsa kita fokus pada Pilkada dan menelan biaya besar. Meskipun independensi dalam otonomi daerah berkurang, kelihatannya masyarakat senang dengan apa yang ditentukan partai politik saat pilkada,” kata Irfan.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi (kedua dari kiri) menulis harapannya saat Bentang Harapan JakASA di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12/2024). JakASA berisi harapan warga pada Jakarta yang akan berusia 500 tahun pada tahun 2027.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi (kedua dari kiri) menulis harapannya saat Bentang Harapan JakASA di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12/2024).
JakASA berisi harapan warga pada Jakarta yang akan berusia 500 tahun pada tahun 2027.
Nomenklatur
Pramono-Rano meraih 2.183.239 suara atau 50,07 persen dari total suara sah dalam Pilkada Jakarta 2024. Keduanya mengungguli Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Hasil tersebut diterima semua pasangan calon maupun tim sukses. Konkretnya tidak ada sengketa ke MK.
Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dengan nomenklatur DKJ sudah sesuai perundang-undangan. Penyesuaian nomenklatur juga tidak serta-merta membuat posisi sebagai ibu kota menjadi bermasalah.
”Sebab, hal itu sudah diatur secara eksplisit dalam ketentuan peralihan UU Ibu Kota Negara yang menegaskan DKJ sebagai ibu kota negara sampai dengan kepindahan ke ibu kota ke Nusantara,” kata Titi secara terpisah.
Hal ini akan berbeda jika kelak diputuskan untuk membatalkan kepindahan ibu kota ke Nusantara. Mau tidak mau pemerintah harus menyesuaikan lagi peraturan perundang-undangan terkait.
Titi menyebutkan, bukan hanya soal nomenklatur. Hal-hal yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik lainnya harus disesuaikan kembali jika ibu kota tidak jadi pindah.
”Kalau dicermati UU Ibu Kota Negara dan UU Provinsi DKJ, sejatinya telah cukup memberi jaminan hukum pada keberadaan DKJ sebagai ibu kota negara sampai dengan kepindahan secara penuh ke Nusantara. Penyesuaian dibutuhkan justru jika pembentuk UU membatalkan kepindahan ibu kota,” tutur Titi.
( RD)