Pradita : Hukum Mulai Kehilangan Tubuhnya, Namun Bayangannya Masih Berdiri Tegak

Foto : As.Sisca Pradita ( Pimpinan Redaksi News Link Aktual )

Editorial : Pradita : Hukum Mulai Kehilangan Tubuhnya, Namun Bayangannya Masih Berdiri Tegak

JAKARTA,NEWS LINK AKTUAL.com–

Seperti ilusi tiang bendera yang bergoyang dalam kabut pagi, padahal angin pun malas berbisik. Di negeri ini, hukum tak selalu hadir sebagai keadilan.

Ia kadang datang sebagai kemurahan yang jatuh ke tangan yang salah.

Ke tangan penyamun yang tak pernah benar-benar ingin berubah, hanya pandai menyembunyikan noda dengan senyum dan stelan jas mahal.

Ketika pemotongan masa hukuman tak lagi ditimbang dari beratnya dosa, tapi dari ringannya lobi, lunaknya relasi, dan gesitnya surat rekomendasi.

Keringanan hukuman menjadi hadiah, bukan untuk yang tobat, tapi untuk yang punya teman di ruang tunggu kekuasaan.

Penjara menjadi transit, bukan tempat perenungan. Ia bukan lagi ruang sempit untuk menebus kesalahan, melainkan ruang negosiasi bagi mereka yang dulu mencuri dalam terang.

Namun di pidato-pidato resmi, mereka dipanggil dengan istilah “warga binaan.” Sebuah eufemisme yang mengaburkan luka publik.

Mereka, para penyamun anggaran, yang membobol uang subsidi, memotong jatah pendidikan, dan menjadikan rumah sakit sebagai ladang komisi, kini mendapat hadiah remisi.

Mengapa? Karena berkelakuan baik. Baik menurut siapa? Saya mencoba mengingat kembali kata-kata lama tentang keadilan. Dari Plato hingga John Rawls, dari filsafat Yunani hingga konstitusi republik.

Namun rupanya, dalam praktik, hukum kadang bukan narasi agung tentang moral, melainkan permainan angka, statistik, dan kewenangan administratif.

Negara membuat algoritma pengurangan hukuman, tetapi lupa bahwa angka tak bisa mengukur luka nurani publik.

Bayangkan seorang ibu yang anaknya meninggal karena dana rumah sakit disunat. Bayangkan anak putus sekolah karena bangku belajar disulap jadi villa pejabat.

Lalu bayangkan si penyamun itu, setelah dua tahun di balik jeruji yang dilengkapi AC dan TV layar datar, keluar lebih cepat karena “berperilaku baik.” Di mana keadilan untuk mereka yang dicuri hidupnya?

Seseorang pernah bertanya: apakah remisi itu salah? Tidak. Remisi adalah hak, kata undang-undang. Namun hukum, jika hanya soal hak tanpa etika, akan kehilangan roh. Ia menjadi tubuh yang kaku

Dan ketika penderitaan rakyat tak lagi menjadi bagian dari ukuran, maka pasal demi pasal berubah menjadi pedang yang bisa dibeli.

“perubahan perilaku” narapidana dihitung dari keikutsertaan dalam kegiatan kerohanian dan hafalan. Seolah korupsi bisa ditebus dengan ceramah dan senyum pada sipir.

Tapi siapa yang mengukur luka masyarakat yang kehilangan? Siapa yang mendengar jerit diam rakyat yang tak pernah diundang dalam sidang peninjauan hukuman? Eks Menko Kemaritiman Jadi Calon Dubes AS, Keponakan Prabowo Beri Pesan Begini Dalam bayang-bayang penjara, kita menemukan absurditas.

Bahwa koruptor seringkali mendapat perlakuan lebih lembut daripada rakyat biasa yang mencuri ayam karena lapar.

Bahwa pejabat yang menyalahgunakan triliunan bisa tetap hidup tenang, sementara petani kecil yang salah mengelola bantuan bisa diadili dengan gegap gempita.

Barangkali, di negeri ini, ukuran kejahatan bukan lagi pada besar kecilnya kerugian, tapi pada besar kecilnya jaringan.

Kita pernah berharap hukum menjadi jalan pemurnian. Namun kini, ia menjadi alat pemutihan.

Penjara bukan lagi tempat membersihkan dosa, tapi tempat menunggu waktu—hingga “kawan lama” kembali berkuasa dan membuka pintu keluar.

Di sinilah kita perlu menggugat bukan hanya pasal, tapi juga etika kekuasaan. Bahwa keringanan hukuman harus disandarkan pada kesadaran moral, bukan sekadar formalitas administratif.

Bahwa yang patut dipertimbangkan bukan hanya perilaku narapidana di balik jeruji, tetapi juga luka yang ditinggalkan di luar jeruji. Pengampunan yang tak adil bukanlah belas kasih.

Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Ia menjadikan negara terlihat seperti sekutu para penyamun.

Sebab ketika remisi diberikan secara massal dan rutin, tanpa telaah mendalam terhadap kejahatan struktural yang dilakukan, maka remisi itu bukan tanda peradaban, tapi bukti dari kemunduran moral birokrasi.

Saya teringat satu catatan sosiologis tentang legitimasi—bahwa kekuasaan bukan hanya soal memerintah, tetapi soal kepercayaan yang dibangun.

Dan kepercayaan itu retak saat negara memberi keringanan pada mereka yang dulu menjual harga diri republik.

Bukan karena mereka membenci hukum, tetapi karena mereka tak lagi melihat hukum membela mereka.

Mereka lelah melihat penyamun bersalin rupa menjadi tokoh agama, tokoh bangsa, bahkan tokoh reformasi. Mereka muak melihat cium tangan dan foto keluarga dijadikan pertunjukan dramatis di balik pengurangan hukuman.

Dalam dunia yang retak ini, kita masih butuh narasi keadilan. Narasi yang tak bisa diserahkan sepenuhnya pada angka, algoritma, atau sistem.

Kita butuh mata hati. Kita butuh keberanian untuk berkata: tidak semua narapidana pantas mendapat keringanan. Terutama mereka yang menyakiti ribuan orang tanpa satu pun merasa malu.

Karena korupsi bukan hanya kejahatan terhadap negara. Ia adalah kejahatan terhadap masa depan. Dan mengurangi hukuman koruptor tanpa menimbang luka yang ditinggalkan adalah seperti menanam benih ketidakpercayaan di ladang demokrasi.

Maka biarlah hari ini kita bertanya—dalam sunyi, dalam sepi yang mungkin tak sampai ke ruang rapat para pengambil keputusan—siapa yang sebenarnya sedang kita beri keringanan.

” Koruptor yang tertawa dalam bayang jeruji, atau kita yang perlahan mulai tak percaya lagi pada keadilan?

(RD)

L

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *