Foto : Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono
Jakarta – Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD DKI Jakarta adalah yang paling rendah di antara provinsi lain se-Jawa. Ia pun mempertanyakan pihak yang menyebutkan anggaran Jakarta paling besar.
Heru Budi bahkan mengatakan APBD DKI tidak sebanding dengan APBD Banten. Heru mengaku tidak mengerti dan merasa heran dengan metode penghitungan yang dipakai pihak yang menyatakan APBD DKI paling besar.
“Kecil, gak ada apa-apanya. Jadi saya nggak ngerti dari mana, kapan yang mengatakan Provinsi DKI Jakarta APBD-nya paling besar. Mulai kapan, siapa yang bilang, dan bagaimana hitungannya,” ujar Heru Budi
Dia menunjuk penetapan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) Perubahan APBD 2023 sebesar Rp 78,7 triliun dan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2024 sebesar Rp 81,5 triliun. Keduanya disebutnya masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan daerah lain.
Sebabnya adalah APBD DKIa harus digunakan atau terserap sampai ke tingkat desa dan kelurahan. Di DKI Jakarta, dia menambahkan, tidak ada APBD independen Jakarta Timur atau wilayah lain. “Ada nggak APBD Bupati Pulau Seribu? Nggak ada, semua dari DKI,” kata Heru Budi.
Kepala Sekretariat Presiden itu menjelaskan pembiayaan untuk seluruh sektor mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kota administrasi, kecamatan hingga kelurahan menggunakan APBD DKI. Sehingga apabila ada masalah jalan rusak, muncul penyakit penapasan, seperti ISPA, maka yang menyelesaikannya adalah Gubernur.
“Gubernur DKI ngurus sampai rakyat; Pak ISPA di Kalibaru kenapa tinggi? Saya telpon Kadis Kesehatannya. Saya telpon Sudin Kesehatannya. Saya telpon Camat, Lurahnya, beresin loh ya. Itu rakyat kita. Saya gak bisa ngeles (menghindar),”.
Hal itu, kata dia, karena DKI Jakarta tidak memiliki otonomi di tingkat Kabupaten/Kota yang berbeda dengan provinsi lain di mana gubernur, bupati, dan wali kota memiliki otonominya masing-masing.
Dia menganggap perlu meluruskan soal perbandingan Gubernur Jakarta dan gubernur di provinsi lain.
Dengan adanya otonomi, kata Heru, maka setiap kali ada keluhan masyarakat, misalnya jalan rusak, pasar tidak layak, maka pemerintah provinsi yang lain akan dapat menyerahkannya kepada pejabat yang memimpin wilayah tersebut.
“Warga tanya; Pak, itu pasar jelek. Gubernur A: Itu bukan saya, itu Kabupaten, kan dia punya anggaran sendiri.
Warga lagi: Pak, perbaiki jalan. Oh Oh iya ini jalan provinsi, saya perbaiki,” ucapnya.
Dia pun mengilustrasikan semisal Gubernur DKI Jakarta mendapat APBD Rp 83 triliun, sementara Gubernur Provinsi A, B, C dengan APBD Rp 36 triliun, Rp 30 triliun, dan Rp 24 triliun.
Anggaran gubernur lain terlihat lebih kecil tapi anggaran itu hanya untuk provinsi dan belum termasuk APBD Kabupaten dan Kota.
“Kabupaten berapa banyak, berapa APBD-nya. Wali Kota berapa banyak, berapa APBD-nya. Jadi Gubernur A plus sebanyak bupatinya, sebanyak APBD wali kotanya, sama dengan Rp136 triliun, (sementara DKI Rp83 triliun,” ujarnya.
Heru Budi menegaskan APBD Jakarta adalah yang terendah se-Jawa jika bicara provinsi. Oleh karena itu tidak bisa dibandingkan dengan yang lain.