Fhoto : ilustrasi
Tragis sekali nasib seorang bayi gara-gara judi online. Tentu bukan si bayi yang main judi, tapi ayahnya yang tinggal di Tangerang, Provinsi Banten.
Ya, karena alasan kesulitan ekonomi dan jerat judi daring, membuat seorang ayah berinisial RA (36 tahun), tega menjual anaknya yang berusia 11 bulan.
RA menjual anaknya senilai Rp 15 juta. Kepada polisi RA mengaku menjual anaknya untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan untuk bermain judi daring (online).
Transaksi jual beli bayi itu terjadi di pinggir Kali Cisadane, Sukasari, Kota Tangerang, Banten, pada tanggal 20 Agustus 2024 lalu.
Mirisnya lagi, uang hasil jual bayi tersebut dihabiskan RA dalam waktu satu minggu. Begitulah kalau sudah kecanduan judi.
RA dapat ide untuk menjual bayinya setelah melihat informasi di salah satu aplikasi media sosial, tentang adanya pasangan suami istri yang bersedia untuk membeli bayi.
Kapolres Metro Tangerang Kota, Komisaris Besar Zain Dwi Nugroho menyatakan, penyidik telah menangkap tiga orang dalam kasus penjualan bayi tersebut.
Ketiga orang tersebut adalah RA dan pasangan suami istri HK (32 tahun) dan MON (30 tahun) sebagai pembeli bayi.
Motif pembelian bayi itu semata-mata karena pasangan itu ingin punya anak, tapi masih belum ditakdirkan untuk dapat anak.
Tindakan RA di atas tanpa sepengetahuan istrinya yang berinisial RD yang tengah bekerja di Kalimantan. RA sendiri pekerjaannya tidak jelas setelah berhenti di sebuah warung makan.
Kasus perdagangan anak ini berawal dari laporan RD ke pihak kepolisian. RD mengetahui kasus tersebut setelah menerima laporan dari ibunya.
Selama bekerja di Kalimantan, RD menitipkan pengasuhan anaknya ke ibunya. RA yang penganggur juga tinggal serumah dengan ibunda RD di Jakarta.
RD pulang ke Jakarta setelah mendapat kabar dari ibunya yang sangat sedih, karena cucunya (anak RD) tidak pulang-pulang setelah berhari-hari tinggal bersama pasangan suami istri yang diakui RA sebagai saudaranya.
Skenario RA sewaktu bercerita ke mertuanya adalah ia ke rumah saudaranya untuk meminjam uang buat modal usaha.
Bayinya dibawa RA ke rumah “saudara”-nya itu, tapi ketika RA pulang ke rumah mertuanya, si bayi tidak ikut pulang.
Kasus di atas semakin memperbanyak kasus-kasus yang berkaitan dengan judi online. Celakanya, yang jadi korban bukan penjudi kaya raya yang biasa berjudi di Macau atau Las Vegas.
Tapi, orang miskin dan para remaja yang paling banyak jadi korban. Contohnya, ya si ayah yang jual anak itu tadi.
Yang mengoperasikan judi online itu juga banyak anak muda Indonesia, yang bekerja dengan pengelola aplikasi judi di Kamboja. Mereka bekerja karena dijebak dengan iming-iming menggiurkan.
Tak bisa lain, pemerintah dan pihak terkait harus lebih serius memberantas judi online. Jangan biarkan korban-korban rakyat kecil lain bertumbangan.
(RL)